Sesampainya kita di dieng, kita tidak langsung untuk mendaki gunung prau, akan
tetapi kita memulihkan tenaga kita terlebih dulu dirumah mas meno selaku pemilik
alat-alat camping yang kita sewa, dan rumahnya kita jadikan tempat
istirahat sejenak, sekaligus untuk packing ulang kembali.
Selesai istirahat, solat, makan, dan juga bayar registrasi pendakian sebesar Rp. 10.000/anak,
karena rumahnya mas meno dekat dengan basecamp pendakian via dieng.
Dengan bismillah kita berangkat.
- Pukul 14:30 star tracking (Dari basecamp ke pos 1/Gemekan) 45 menit.
Kita mendaki gunung prau lewat jalur dieng yang kata orang (dan sekarang jadi kata saya) gak
terlalu jauh dan gak terlalu terjal medannya bagi orang biasa, apalagi bagi
pendaki yang berpengalaman. Beda dengan orang gendut yang menganggap
semua tanjakan itu berat.
Hal pertama yang harus kita lewati setelah meninggalkan basecamp adalah
tangga untuk menuju ladang milik warga. Kelihatannya memang gak ada
masalah bagi orang biasa, tapi semenjak saya jadi gendut, tangga adalah
musuh besar saya. Untungnya habis makan, jadi bisa melewati berpuluh-puluhan anak
tangga ini. Begitu sampai diujung tangga, para anak-anak cewek minta
berhenti karena kecapek-an. haha syukurin, sapa suruh ikut mendaki.
"Baru segini doang udah capek" celetuk saya, padahal dalam hati "saya juga capek banget"
Kemudian kita jalan lagi melewati ladang milik warga setempat dengan
jalanan sedikit landai sampai di pos 1. Kondisi di pos 1 ini cukup luas, ada
warungnya juga, dan di pos 1 ini juga menjadi pembatas dari jalanan
yang berupa batu-batuan yang disusun menjadi tanah liat, sekaligus gerbang menuju
hutan di kaki gunung prau.
Kemudian untuk menggambarkan suasana yang sebelumnya agak terik, begitu
masuk ke hutan berubah menjadi adem, tenang, bikin semangat, karena sinar matahari tidak
bisa tembus oleh rimbunnya pepohonan yang saya gak tau nama pohonnya
apa. Suara para serangga hutan mulai terdengar, burung-burung berkicau,
angin berhembus seakan memberi energi tambahan buat para pendaki.
- Pos 1/Gemekan ke Pos 2/Semendung 1 jam.
Sebelum sampai di pos 2, si wiwi dan dwi sudah beberapa kali minta
berhenti karena kecapek-an. Sedangkan saya demi menjaga nama lelaki maka
saya tetap stay-cool dihadapan para anak-anak terutama didepan mala.
Padahal dalam hati saya pengin banget rebahan dikasur yang hangat,
karena hobi baru saya ini adalah tukang tidur profesional.
Akhirnya kita sampai juga di pos 2/pos semendung yang berada di
sekitaran tugu batas wilayah antara wonosobo dan batang. Disini kita
istirahat dan foto-foto sebentar, lalu jalan lagi dengan kondisi masih
didalam hutan.
- Dari pos 2 ke Nganjir (pos 3) 1 jam 15 menit (Lewatin bukit akar
cinta)
Untuk menuju pos 3, kita harus melewati bukit akar cinta. Yang dimaksud
bukit akar cinta bukan ada akar pohon lagi pacaran diatas bukit, tapi
kalau boleh saya menggambarkan, banyaknya akar-akar pohon yang menyembul
ke atas permukaan tanah kemudian saling menyatu dengan akar-akar yang
lain sehingga kayak orang pacaran. Disini perjalanannya menjadi GGS alias
gampang-gampang sulit, karena kalau gak fokus sedetik pun atau mikirin
pacar yang selingkuh itu bisa bikin kita kesandung dan jatuh. Kayak saya waktu itu lagi mikirin kenapa anak-anak black
cobra sejahat itu sama club anak jalanan. Tiba-tiba saya kesandung dan hampir
jatuh. Selesai dari akar-akar yang penuh cinta, kita lewat jalur baru
yang lebih cepat dari pada jalur lama menuju pos 3. Namun kita gak
nemuin tulisan pos 3 atau pos nganjir disini, cuma disambut sama burung
yang gak takut dengan kehadiran kami.
- Dari pos 3 ke puncak 1 jam.
Setelah lewati pos 3, kita tidak lagi ditengah-tengah hutan, melainkan
kita berada diatas tebing menuju puncak prau dengan kanan-kirinya kita
banyak bunga daisy. Disini pemandangannya lebih terbuka karena tidak ada
pohon besar yang menghalangi. Kita jadi bisa lihat bukit-bukit, rumah warga,
kawah-kawah yang ada dibawah juga terlihat jelas kepulan asapnya yang
menggumpal, serta gunung sindoro dan sumbing yang malu-malu kucing
nampak didepan kami, hingga waktu semakin sore membuat kita makin
semangat agar segera sampai dipuncak gunung prau. Namun sesekali
foto-foto dengan background matahari yang mulai tenggelam dengan cahaya
merah ke kuning-kuningan, atau kuning ke merah-merahan. Sementara kalau
melihat ke arah timur, bulan mulai nampak dengan cahayanya. Kita persis berada
ditengah-tengah bulan dan matahari. Keren banget. Hanya satu kata untuk
menggambarkan suasana ini, yaitu merinding. Bukan karena berada ditengah bulan dan matahari, tapi merinding karena udaranya makin dingin
banget cuy. Saya mengambil kesempatan ini untuk tiduran diatas tanah
dengan tas saya sebagai bantalnya, rasanya enak banget. Biarkan yang
lain foto-foto. Tapi begitu mau tiduran bentar, tiba-tiba turis bilang kalau kita harus segera jalan
mumpung masih ada sinar matahari untuk menemani kami menuju puncak yang
hanya lewati satu bukit lagi. Dasar leader gak adil, ada anggotanya mau
tidur ko disuruh jalan. Mana dingin lagi. Paling belakang pula saya.
Tapi alhamdulillah dengan kaki yang sepertinya mau patah, juga dengan
hidung yang mulai meler keluar ingus, akhirnya kita sampai di ketinggian
2565 mdpl, yaitu puncak gunung prau.
Sunset di dari prau. |
Kita
rayakan keberhasilan kita sampai dipuncak dengan loncat-loncat, ada
juga yang salto-salto, kalau saya bagitu sampai dipuncak langsung
menghampiri mala, "Apa kamu baik-baik saja?" Dan mala jawab baik-baik
saja dengan tersenyum. Dia emang cewek yang
kuat, sedangkan saya cowok yang cemen. Untungnya mala gak balik tanya, karena kondisi kaki saya sedang
memprihatinkan. Begitu duduk sebentar samping mala, tiba-tiba turis
memperintahkan kami para cowok-cowok untuk memulai mendirikan tenda
karena si wiwi yang katanya strong kayak cowok tapi kepalanya tiba-tiba
pusing dan mual-mual.
Sedikit kesusahan mendirikan tenda, di akibatkan
kita gak ada yang pengalaman dirikan tenda, ditambah lagi gelap, dan
udara sangat amat menusuk ke dalem. Kamfrettt emang dinginnya keterlaluan, bikin
tangan kaku. Butuh waktu hampir satu jam buat kita untuk mendirikan 2
tenda. Selanjutnya kita masak-masak dan makan-makan.
Makan
tempe mendoan dan mie instan rame-rame sebagai menu kita malam ini (Haha.. berasa kayak punya menu yang lain, padahal menunya cuma itu-itu doang). Kita kesini emang
berpasang-pasangan, tapi bukannya terus pisah makan berpasang-pasangan dengan makan mie sepiring berdua, bukan. Melainkan
makan mie sepanci berdelapan, karena kita tidak ada yang bawa piring,
panci pun jadi. Ditambah tempe mendoan yang
mala buat, bukan beli, karena gak ada warung, apalagi mini-market.
Masih ditambah lagi dengan satu gelas besar kopi yang diminum rame-rame, ada juga makanan ringan yang kita bawa dari rumah.
Karena kalau gak rame itu gak asik. Tapi sayang, dinginnya keterlaluan
banget, sampe kopi yang baru di tuang hanya bertahan 5 menit saja
panasnya, tiba-tiba dingin. Untuk pemandangan malam ini sangat terang,
banyak bintang-bintang yang kalau dihitung mungkin ratusan lebih yang
terlihat sangat jelas, apalagi bintang-bintang yang ada di bawah yaitu
lampu-lampu rumah warga setempat menjadi penambah ke-eksotisan malam
hari di puncak prau. Namun tak lama kemudian kabut sialan mulai menutupi semuanya
hingga kita semua akhirnya masuk ke tenda untuk tidur dan berharap
sunrise nanti tidak ada kabut atau awan yang menghalangi.
Sekitar pukul
2 saya terbangun karena banyak suara orang diluar tenda yang sepertinya
ada pendaki yang baru sampai di puncak prau. Karena emang lebih enak
kalau mendaki gunung prau saat malam hari, apalagi bagi yang tidak ingin
ngecamp disini. Dipuncak prau ini cukup luas, bisa mendirikan 8 sampai
10 tenda. Tapi di area campnya bisa menampung puluhan tenda bahkan
ratusan tenda.
Jam 3:15 pagi lagi-lagi saya terbangun gara-gara si beti teriak kalau sunrise itu jam 3:30. Entah dia berasal
dari belahan bumi mana atau mungkin saking antusiasnya ingin melihat
sunrise yang katanya salah satu sunrise paling indah di Indonesia ini yang
menjadikan beti sedikit ngaco. Bukan sedikit sih tapi emang sangat ngaco,
karena begitu dia keluar,
lantas dia kaget karena mataharinya belum muncul juga, dan beti bilang ke kita kalau langit sedang mendung.
Pukul 4:45 baru giliran saya dan
yang lainnya keluar tenda untuk menunggu sesuatu yang kita tunggu.
Inilah GOLDEN SUNRISE dari puncak prau yang saya foto pake cameranya beti. |
Sedikit demi sedikit matahari mulai
mengeluarkan cahayanya dilangit-langit, dan lama kelamaan muncul lah
dengan warna merah keemasan yang banyak orang menyebutnya golden
sunrise, dan saya bersama mala, juga yang lainnya telah melihatnya
langsung betapa indahnya matahari kalau lagi bangun tidur. Beda kalau
manusia pas baru bangun tidur gak ada keindahanya sama sekali, kalau ini bener-bener menakjubkan. Gak ada awan,
gak ada kabut, benar-benar sunrise yang sempurna. Para pendaki
berlomba-lomba mengambil kesempatan ini. Karena dengan foto lah kenangan
kita bisa menjadi bukti ke orang lain, tapi menurut saya kenangan yang
indah adalah dengan melihatnya langsung dan merasakannya, karena
keindahan yang dilihat oleh mata, tak bisa sepenuhnya ditangkap oleh
lensa kamera. Mata memang jendelanya dunia. Saya bahkan sampe menangis.
Bukan. Bukan karena liat sunrise, tapi menangis karena kaki saya
tiba-tiba kram.
wiwi, mala, dwi, dan beti |
trio, rudi, turis, dan sang empunya blog ini. |
Akhir kata, terimakasih buat orangtua kita yang telah
memberikan ijin buat kita untuk berdiri disini menyaksikan sesuatu yang belum tentu orang lain bisa menyaksikannya, terimakasihnya pula buat
bos-bos kita yang mau menerima permohonan kami untuk tidak bekerja
dulu, terimakasih
GPS yang cukup membantu perjalanan kami menuju dieng, terimakasihnya
lagi buat tukang parkir yang mau menjaga motor-motornya kami, juga
terimakasih buat mas meno yang telah memberikan tempat istirahat sejenak
dirumahnya. (udah kayak dapet penghargaan
aja banyak bilang terimakasihnya). Terakhir terimakasih buat turis, dwi, rudi, wiwi, trio, beti, dan
tentunya mala yang sudah mau seru-seruan bareng, ledek-ledekan bareng,
semoga gak masuk ke hati.
Kadang kita memang perlu keluar ketempat yang
bener-bener bebas dari semua aktifitas kita. Misal ke gunung dengan
teman, sahabat, atau keluarga. Tujuannya untuk apa? Supaya kita tau dan
merasakannya langsung bahwa terbitnya matahari dengan manusia itu
sama-sama hangatnya ketika digunung.
Buat penikmat keluyuran, salam
secangkir teh hangat dari prau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar