Senin, 28 Agustus 2017

Mencari Titik Tertinggi di Obyek Wisata Cacaban

Seminggu setelah lebaran kemarin, saya bersama kawan lama (teman SMP) baru sempat kumpul bareng setelah sekian hari tertunda-tunda karena banyaknya acara keluarga yang harus kita jalani. Barulah di malam minggu pertama setelah lebaran kita kumpul di rumah Jahid.

Hal pertama yang kita bahas tentu mengenai fisik kita, ada yang masih kurus-kurus aja, ada yang makin gempal seperti saya, ada yang sudah pake kacamata dan lain-lain. Lalu hal kedua yang kita bahas adalah kabar teman-teman yang lain yang katanya ada yang sudah punya anak, baru menikah, mau menikah, baru pacaran dan ada juga yang masih jomblo sejak SMP sampe sekarang termasuk Jahid si tuan rumah. Terakhir membahas kenangan kita seperti saya habis naik gunung, lalu Sofi baru pulang habis kerja 3 tahun di Korea, dan terakhir Budi yang cerita habis mencari burung di beberapa bukit yang ada di sekitar Waduk Cacaban. Saat itu Budi keliling naik-turun bukit yang ada di Cacaban. Dan ada satu titik tertinggi dimana kalau berdiri disitu kita dapat melihat PG. Pangkah (PG : Pabrik Gula) yang jaraknya lumayan jauh dari Cacaban serta pemandangan sawah-sawah yang hijau indah memukau mata. Karena di titik tersebut tidak ada pohon sama sekali sehingga pemandangan didepan sangat menakjubkan.

Karena rasa penasaran seperti yang diceritakan Budi itulah yang membawa kita untuk ke Cacaban dan mencari titik tertinggi yang Budi sebutkan tadi.

Kemudian saya mengusulkan untuk ke Cacaban naik sepeda biar sekalian olahraga. Tapi hanya 2 anak saja yang setuju naik sepeda ke Cacaban selain saya, sisanya males capek mungkin, makanya naik motor. Dan ditentukanlah hari dan semuanya sepakat besok pagi setelah shalat subuh kita jalan ke Cacaban.

Lalu kita semua pulang untuk mempersiapkan besok.


~~sk~~

Tidak sedikit yang membatalkan untuk ikut ke Cacaban, dengan alasan kerjaan dan masih banyaknya acara keluarga menjadi penghalang kita untuk jalan-jalan sekaligus reuni kecil-kecilan alumni SMP Muhammadiyah Kec. Pangkah, Tegal, angkatan 2007.

Setelah semuanya berkumpul (kecuali yang tidak ikut) ditempat yang sudah dijanjikan, kita langsung jalan dengan kecepatan santai 20km/jam, karena yang naik motor juga menyesuaikan kita-kita yang naik sepeda.

Hasilnya setengah jam lebih dikit kita baru sampai di gerbang wisata Waduk Cacaban.

Pasca libur lebaran, tiket masuk ke OW Waduk Cacaban naik seribu (jadi Rp. 3.500).  

Selesai motor di parkirkan, kita tidak langsung naik-naik bukit terlebih dulu, tapi jalan-jalan disekitaran waduknya yang keren banget kalau pagi-pagi.


Kita liat satu-persatu perahu yang dibuat untuk pengunjung mulai pergi dengan membawa belasan pengunjung didalamnya. Kalau saya perhatikan mimik muka para pengunjung sangat beragam, ada yang seneng sambil selfie, ada juga pengunjung yang ekspresi mukanya kayak orang ketakutan gitu. Saya rasa aman sih perahunya, kayu-kayunya juga masih kokoh pas saya amati. Cuma keamanannya yang masih kurang, karena tiap perahu hanya ada 4 ban pelampung dan 2 pelampung rompi saja. Gak sebanding dengan belasan pengunjung yang naik perahu tersebut. Mungkin keterbatasan tempat sehingga mengurangi jumlah ban pelampungnya.


Bosan melihat pemandangan waduknya, kemudian kita jalan-jalan dipunggungan waduknya. Suasananya juga cukup ramai dan banyak spot-spot menarik buat dijadikan objek foto.

Gak terasa kita jalan sudah sampai di sungai yang banyak batu-batu cukup besar. Setelah itu kita mulai naik bukit satu-persatu. Tapi cuma bertiga doang, yang lainnya sudah sangat kelelahan. 

"Dibukit yang mana ya yang pemandangannya keren" tanya Budi. Anak yang paling pengin banget nostalgia ke tempat yang dulu dia bilang keren.

"Mana saya tau bud" jawab saya. "Kan situ yang pernah kesini"

"Kayaknya sebelah sana" kata Ale sambil nunjuk ke bukit yang lokasinya berada di loket masuk kedua. Memang tempatnya lebih tinggi.

Kemudian kita kesana.

Sesampainya disana, ternyata sama ramainya kayak di Waduknya banyak pengunjung. Ada rumah pohonnya juga yang saya pikir mungkin ini titik tertinggi di Cacaban. Tapi kata Budi masih belum, karena pemandangannya biasa. Padahal menurut saya keren banget loh. Kayak di foto ini.


Kemudian kita turun dari rumah pohon dan naik bukit lagi. Kali ini bukan di tempat-tempat yang banyak pengunjung, bahkan gak ada jalannya juga. Semuanya tertutup sama rumput-rumput yang sepertinya hampir tidak pernah ada orang yang lewat situ. Tapi tetep aja si Budi maksa naik sambil bilang di atas aja ada pohon pisang, pasti ada orang yang pernah naik ke bukit ini. Sebuah filosofi yang memaksa. Sedangkan saya dan Ale cuma ngikutin aja di belakang.


Sesampainya diatas kata Budi masih bukan bukit yang dia inginkan.

Saya cuma bengong sambil bertanya sendiri dalam hati "Terus dimana letaknya?"

"Ayo turun lagi" kata Budi.

Kemudian kita jalan ke tempat yang sangat tersembunyi mungkin di daerah situ karena bener-bener sunyi, gak denger suara pengunjung yang lainnya. Kalau tadi sih kita masih denger hiruk-pikuk suara anak-anak.

"Kayaknya ini bukitnya deh" kata Budi tapi masih kayaknya...

"Kayaknya bukan deh" jawab saya

"Masa sih?"

"Gak ada jalannya bud"

"Jalan mah bisa dibuat sendiri" lanjut Budi.

Bukit yang akan kita naiki ini lebih rimbun pohonnya, rumputnya juga tinggi-tinggi banget, dan yang paling gila kita asal jalan aja kayak seolah-olah jalanan aspal didepan, padahal kaki saya beberapa kali tertusuk duri-duri kecil.


"Iya yah bukan disini"

"Kan saya bilang juga apa" jawab saya tapi dalam hati.

Kemudian kita turun lagi dengan berbagai macam duri yang menempel di celana saya.

"Oh iya bukitnya di sebrang sana kayaknya deh" tunjuk Budi ke bukit yang ada di sebrang sungai yang pas awal tadi kita berenam duduk-duduk. Tapi masih kayaknya...

"Eh bud. Maaf nih saya udah ada janji anter adik saya beli hape" alasan saya biar gak balik lagi ke bukit yang didekat sungai tersebut karena jaraknya lumayan jauh sekitar 2 atau 3 km dengan kondisi jalan naik-turun. Dan saya juga yakin nanti pas udah diatas juga pasti Budi bakalan bilang "kayaknya bukan disini deh". Saya dan Ale di ajak muter-muter sebenernya bukan karena keegoisannya Budi yang pengin liat pemandangan paling keren di atas bukit, tapi saya juga pengin liat. Cuman yang kita cari adalah sebuah bukit dengan pemandangan keren tanpa ada pohon satupun dan itu yang Budi lihat 10tahun lalu. Saya tau pas Budi cerita dulu kesininya 10tahun yang lalu bareng bapaknya dia untuk berburu burung. Sudah jelaslah pasti tempat tersebut sudah berubah bentukannya.

Padahal ya tadi juga ada pemandangan keren bahkan PG. Pangkah juga keliatan. Tapi Budi penginnya pemandangan yang kayak dulu, itu kan susah. Tapi sisi baiknya kita jadi banyak waktu buat ngobrol bareng, jalan bareng, dan sarapan bareng. Sedikit bernostalgia di Waduk Cacaban tapi mampu membuka pintu selebar-lebarnya pintu kenangan kita di masa sekolah. Semoga kalian makin sukses.


Demikianlah pencarian titik tertinggi di Waduk Cacaban yang akhirnya tidak sesuai keinginan Budi, bisa juga keinginan saya, karena saya juga berharap ada pemandangan yang lebih waow lagi. Tapi ini masih jadi misteri.

Minggu, 06 Agustus 2017

Tips Mendaki Gunung Bagi Orang Gendut VERSI Blog Sering-Keluyuran.

 
Sebagai orang gendut yang berat badannya lebih dari 85kg, kadang suka menyerah sebelum bertindak seperti ketika saya liat temen ngepost foto dengan latar belakang pemandangan alam yang keren banget, begitu ditanya mengenai foto tersebut diambil dimana, saya langsung sedih kalau jawabannya adalah di Danau Ranukumbolo yang letaknya di Gunung Semeru, atau di Segara Anak di Gunung Rinjani misalkan. Karena saya atau kita sebagai orang gendut akan mikir lima kali (kalau mikir cuma dua kali masih kurang) untuk menjajal naik gunung atau tidak. Karena mendaki gunung adalah sebuah kegiatan alam yang bukan hanya sekedar jalan-jalan saja, tapi kita juga harus punya ketahanan fisik dan tenaga yang kuat, karena mendaki gunung termasuk olahraga cukup ekstrim. Nah... saya main futsal baru 5 menit aja sudah engap. Tapi dengan tekad saya yang ingin sekali mendaki gunung dan memandang keindahan dari atas gunung, membuat saya berjuang gimana caranya supaya orang gendut juga bisa!. Maka inilah 15 tips mendaki gunung bagi orang gendut. Semoga bermanfaat.
 
1. Olahraga dong!
 
Pict By : CheritaHati - WordPress.com
Kalau orang-orang bilang sebelum mendaki itu harus olahraga maksimal seminggu sebelum mendaki. Itu benar, tapi untuk orang kurus, sedangkan bagi yang gendut minimal satu bulan full kita olahraga, tujuannya selain agar fisik makin kuat, berat badan juga makin turun. Jadi pas nanti mendaki badan kita tuh gak gendut-gendut amat. Jenis olahraganya jangan catur, itumah sama aja, tapi sering-sering lah godain istri orang, nanti pastinya si suami gak trima dan bakal ngejar-ngejar kita. Disitulah letak suksesnya membakar kalori yang banyak, karena kalau cuma lari-lari biasa paling keringatnya dikit yang keluar, tapi kalau lari sambil dikejar orang pasti keringatnya sebiji jagung walopun larinya cuma sebentar.
 
2. Jangan Baper.
 
Pict By : Vemale.com
Orang gendut itu sedikit lebih baper. Liat semut mati aja merasa kasihan yang teramat sangat mendalam dan jadi perasaan, apalagi kalau punya pacar yang ditinggal buat pergi misalkan, pasti kepikirannya sama si pacar terus, mikirin apakah dia sudah makan, apakah sudah minum setelah makan. Jadi sebisa mungkin seminggu sebelum mendaki putusin aja dulu pacar kita sambil bilang supaya pikiran tenang saat mendaki. Kalau emang sayang, pasti pacarnya itu ngertiin. Malahan seneng, karena dia bisa jalan dengan cowok yang badannya lebih cool. Tapi yang penting sukses mendakinya.
 
3. Ajak teman.
 
 
Untuk mendaki gunung, kita pasti akan membutuhkan orang lain, entah itu untuk untuk penyemangat, bawain tas kalo kita memang sudah sangat lelah, bisa juga untuk temen ngobrol. Jangan mentang-mentang habis nonton film 5cm terus bilang sudah pengalaman mendaki gunung, padahal cuma nonton film.
 
9. Sewa Guide/Porter.
 
Pict By : Jalan Setapak Adventure - WordPress.com
Waktu mendaki Sindoro kemarin, dengan senang hati saya menerima pertolongan dari Mas Galih untuk membawakan cerrier saya. Yaiyalah... yang gak seneng yang bawain cerrier. Tapi nyatanya Mas Galih gak ada raut wajah nyesel, karena emang ini udah bagian dari pekerjaannya. Jadi sah-sah saja kalau kita pengin mendaki dengan sedikit beban saja yang kita bawa. Konsekuensinya ya kita keluar duit banyak buat bayar tenaganya orang lain.
 
10. "Jangan Tinggalin Aku ya..."
 
 
Kalimat tersebut juga termasuk tips mendaki gunung buat orang gendut. Karena orang gendut itu langkahnya pelan kayak siput mungkin, gak selincah kancil. Jadi sebelum mendaki baik bareng temen atau sewa Guide usahakan kita mengingatkan mereka untuk tidak ninggalin kita.
 
14. Bawa makanan di kantong.
 
 
Makanan adalah teman hidupnya orang gendut. Karena orang gendut kalau gak sambil ngemil bisa kehilangan gairahnya. Seperti yang saya alami kemarin di Sindoro, gegara gak makan pas mau turun, kondisi badan makin gak karu-karuan. Makanya nanti kalau mendaki lagi saya bakal ngantongin coklat di saku kiri, roti di saku kanan, lalu bawa tas kecil yan didalamnya sudah ada gorengan.
 
15. Dan tips terakhir yang paling penting yang akan saya kasih adalah NIAT.
 
 
Percuma juga kita ngikutin tips ini dari awal tapi ternyata kita gak niat buat mendaki. Mending dirumah main Playstation sambil makan mie ayam+bakso, minumnya es campur. Jadi sebelum mendaki kita mantapkan dulu niat kita.
 
~~sk~~
 
Begitulah sekelumit tips mendaki gunung untuk orang gendut yang saya tau. Semoga bermanfaat dan pulang juga dengan selamat membawa foto terbaiknya yang kita ambil di atas gunung.
 
Mulai sekarang stop diskriminasi orang gendut, karena orang gendut juga manusia, dan setiap manusia pasti ingin melihat pemandangan yang indah. Maka bantulah kami wahai para pendaki yang berpengalaman apabila sedang kesusahan dalam mendaki gunung. Sedangkan kalian para orang gendut yang berhasil naik gunung lalu pamerin fotonya di sosmed, jangan takut kalau ada orang yang gak percaya kita naik gunung. Bilang aja "Naik pelaminan aja bisa, apalagi naik gunung".


Baca juga :
Tengah Malam Mendaki G. Sindoro
Mendaki G. Prau Bareng Keluarga Sering Keluyuran
Di Paksa Naik Bukit Batu Agung

Selasa, 01 Agustus 2017

GAGAL PUNCAK. Lanjutannya : Tengah Malam Mendaki Gunung SINDORO.

Karena cuaca langit saat itu berawan, kita jadi kurang beruntung untuk mendapatkan pemandangan sunrise yang keren di sekitaran pos 3 Gunung Sindoro. Tapi pemandangan gagahnya Gunung Sumbing didepan kita cukup membayar perjuangan kita mendaki gunung di tengah malam.


Selesai membangun tenda, sekarang waktunya membangun gairah baru, setelah sebelumnya merasa lelah, letih, dan lesu gak ada gairah sama sekali, makanya kita wajib bangun gairah baru. Bukan foto-foto, bukan pacaran sama Mala, BUKAN! tapi MAKAN!. Ya... makan. Karena bagi orang gendut : Makan itu bisa menciptakan gairah baru, makanya saya langsung cari-cari makanan. Diawali dengan mencari makanan di tas sendiri tapi gak ada, kemudian saya buka tas kecil yang dibawa Mala, juga gak ada makanan. Saya pikir mungkin yang bawa makanan Turis atau yang lainnya, tapi ternyata gak ada yang bawa makanan. Kampret!!

"Tadi di Basecamp emang gak belanja makanan?" Tanya saya.

"Gak ada, cuma beli air mineral sama kopi dan susu" Jawab Dwi.

"Perasaan kan tadi di basecamp beli mie" Lanjut saya.

"Kan udah dimasak sebelum mendaki. Bahkan kamu yang makan paling banyak"Lanjut Mala.

Kemudian saya diem, seolah-olah habis melakukan kesalahan yang besar.

Alamakkk! Jadi kita mendaki di Sindoro ini gak bawa makanan sedikit pun. Kalau bagi Mala, Dwi, dan Beti makan itu gak penting, yang penting foto sepuas-puasnya itu bisa melupakan rasa lapar. Sedangkan bagi Turis yang penting air. Nah kalau saya kan gak bisa hidup kalau gak makan. Mana mau ke puncak segala. Masa gak makan dulu.

Ini bener-bener pendakian paling gak waras (Tolong jangan diikuti), hanya karena sudah mepet banget waktunya untuk mendaki gunung nyampe makanan aja gak dibawa. Padahal makan mie digunung itu lebih lezat dari pada makan nasi padang di warteg. Yang patut disalahkan adalah macetnya jalanan arah Purwokerto kemarin, membuat semua rencana jadi berantakan.

"Jadi puncak gak mas?" Tanya mas Galih.

"Gak usah deh mas, gak ada asupan gizi, sisa tenaga ini di pake buat turun aja" jawab saya dan disetujui sama Turis dan anak-anak cewek lainnya.

"Iya sih mas, kita kesini karena waktu mendakinya yang terlalu malam bahkan sudah dini hari" lanjut mas galih.

Kemudian Mas Osa menambahkan katanya, kalau mau bermalam di Sindoro idealnya nyampe pos 3 itu maksimal jam 10 malem, tujuannya biar sebelum jam 12 sudah pada tidur buat mempersiapkan summit. Nah kita, jam 1:30 baru mau naik. Hehe mungkin lain kali kita kesini lagi dan naik ke puncak Sindoro.
Selesai berkemas-kemas untuk persiapan turun, kemudian kita tutup dengan sesi pemotretan terakhir. Setelah itu. Pulang.  

Kalau di liat-liat, ketiga cewek ini kuat juga. Padahal mereka gak ada yang tidur semaleman. Hanya dengan foto-foto saja mereka jadi mendadak kuat.
Mas Osa, Dwi, Mala, Beti, Mas Galih


~~sk~~

Bebatuan demi bebatuan kita lewatin, pohon demi pohon yang tumbang juga kita lewatin sampai di pos 2 kita lewati dengan kondisi kaki saya mulai terasa sakit antara kram dan sedikit terkilir pas loncat tadi, dengkul juga mulai terasa sakit karena lebih banyak bekerja untuk mengerem. Entah disisa perjalanan ini saya sanggup untuk jalan kaki atau tidak.

Saya kembali mikir untung tadi gak jadi ke puncak. Misal tadi jadi ke puncak, gimana nanti pas pulang.  

Sedangkan kondisi teman-teman yang lain seperti Turis, Mas Osa, Mas Galih sih masih sehat-sehat aja. Suruh naik lagi mungkin mereka masih sanggup, terus Mala juga gak memperlihatkan kalau dia capek, justru Mala yang terusan nyemangatin saya tadi. Jadi malu. Dan yang aneh itu Beti dan Dwi. Tadi pas awal-awal turun Beti sang petualang sejati mulai menunjukan kelasnya sebagai pendaki dengan jam terbang tinggi karena dia jalan paling depan dan tidak mau istirahat, sedangkan Dwi di awal-awal pas turun sudah beberapa kali minta berhenti dan merengek kesakitan.

Tapi apa yang terjadi selepas istirahat 10 menit di tengah perjalanan menuju pos 2 tadi, Dwi jadi makin kuat sedangkan Beti makin loyo kayak gak ada gairahnya sama sekali. Setelah ditanya apa alasannya kata Dwi kalau habis foto-foto semangatnya jadi nambah, kalau Beti katanya habis tenaganya. Haha mereka memang kocak-kocak sifatnya, makanya saya seneng banget kalau keluyuran bareng mereka. Cuma sayangnya kita kurang 3 anak yang mungkin saja bisa nambah rasa bahagianya.
Formasi lengkap saat ke Gunung Prau
~~sk~~

Lanjut turun sampai di Pos 1 kaki mulai gak karuan, tapi saya tetap paksakan untuk terus jalan walaupun pelan-pelan. Mas Osa sih menyuruh kita untuk naik ojeg saja dari pos 1 sampai Basecamp, tapi kita gak mau demi melihat pemandangan lebih lama. Alasan yang tidak masuk akal sih karena kondisi kaki saja sudah terasa pengin banget berhenti melangkah.

Selepas keluar dari hutan, kini kita memasuki area kebun kol yang cukup luas. Dan posisi saya sudah jauh meninggalkan yang lainnya. Tapi ini bukan berarti saya paling cepat, melainkan karena mereka sering berhenti untuk foto-foto, sedangkan saya pengin cepet-cepet sampai di basecamp dengan langkah kaki yang lemah.


Lalu saya denger dari arah belakang ada mobil pengangkut kol yang tadi saya lewati dan sepertinya sekarang sedang jalan mengarah saya, kemudian saya melipir dipinggiran jalan untuk kasih ruang mobil bak terbuka tersebut. Namun setelah melintas disamping saya ada suara cewek dan cowok berbarengan menyapa saya, dan sepertinya saya kenal dengan suara tersebut.

"Duluan ya mas"

Pas saya liat.

Kampret! Ternyata mereka yang naik mobil.

"Ayo mas naik" kata Mas Osa sambil menjulurkan tangan.

Tapi pas saya mau naik, ini kaki gak bisa ngangkat tinggi.

"Aduh gak bisa mas"

"Langsung loncat aja ris" usul Turis.

Akhirnya saya loncat dengan tangan sebagai tumpuhannya, tapi kaki masih belum kuat naik sampai akhirnya Turis menarik kaki saya. Tapi pas berhasil naik, ini kaki dua-dua kram.

"Mas-mas tolong mas" teriak saya karena emang sakit banget.

Sepanjang naik mobil saya selalu merintih sambil mikir apa yang terjadi dengan tubuh ini, karena dulu ke Gunung Prau gak separah ini kakinya. Ya memang prau lebih pendek dan lebih ringan, tapi kan sebelum mendaki saya olahraga sepedaan dulu. Pasti gara-gara gak makan tadi.

Gak sampai 5 menit akhirnya kita semua sampai di basecamp dengan selamat.
Sebuah pengalaman yang luar biasa dan pembelajaran yang teramat berharga bagi kita bila ingin mendaki lagi harus disiapkan sebuah rencana yang benar-benar matang, maksudnya harus ada plan B atau C atau D bila rencana awalnya gagal total.

Dan lucunya, derita saya gak sampai disitu saya. Mau shalat gak bisa sujud, akhirnya shalatnya duduk, selesai shalat gak bisa berdiri karena ini dengkul bener-bener lemes banget. Terus naik tangga yang ada di pintu bus juga gak bisa, kemudian yang paling nelangsa pas sampai di terminal purwokerto perut saya mules dan disitu gak ada wc duduk, bisa dibayangkan betapa susahnya saya pas nongkrong. Saya nyampe tobat gak mau naik gunung lagi. Tapi pas semua rasa sakitnya hilang malah pengin naik lagi. Haha dasar yah gunung emang suka bikin kangen. Semoga saya dan Keluarga Sering Keluyuran bisa kembali mendaki bareng lagi.