Jumat, 22 Juli 2016

Mendaki G. Prau bareng keluarga sering keluyuran Part 1

Ini adalah kali pertama kita jalan bareng sebagai keluarga baru. Keluarga sering keluyuran. Dan kita memilih gunung prau yang ada di dieng Wonosobo sebagai destinasinya. Namun kita tidak hanya berenam saja, ada 2 teman lagi yang ikut ke Wonosobo yaitu beti dan trio. Beti adalah sesosok perempuan yang sangat berpengalaman didunia petualang, air terjun/curug menjadi pemandangan favoritnya, bahkan dari semua air terjun yang ada di Jawa tengah pernah beti kunjungi, kecuali yang belum. Sedangkan trio saya kurang tau pasti jam terbangnya dia di dunia petualang, tapi anaknya asik, bahkan saking asyiknya dia sampai sok keasyikan gitu. Mungkin kalau mereka jadian saya rasa cocok, kalau gak, ya tinggal di cocokin.
Oke perkenalan 2 orang ini saya rasa cukup, sekarang lanjut ke cerita.
Sebelum ke dieng wonosobo untuk mendaki gunung prau, tentunya kita mempersiapkan alat-alat untuk mendaki/camping terlebih dulu, dan ternyata mempersiapkan alat untuk mendaki lebih rumit bin ribet dari pada mempersiapkan alat untuk bikin mie instan, apalagi ini pertama kalinya buat kita untuk menginap di atas gunung. Sebenernya sih saya dan turis sudah pernah mendaki gunung, cuman kita gak sampai menginap. Gak kayak sekarang harus bawa tenda, sleeping bag, matras, nesting, kompor, gas elpiji 60 kilo, sampai tisue aja harus bawa berbagai macam seperti tisue basah, tisue kering, tisue wc dll. Sedangkan yang cewek bawanya lebih ribet kayak hair dryer, catokan, pensil alis, meja rias sampai tukang riasnya juga dibawa. tapi kita mempersiapkan ini semua dengan senang hati.
Lalu, di malam terakhir menjelang keberangkatannya ke dieng, sebagian dari kita pasti ada yang gak bisa tidur karena pikirannya mungkin sudah sampai di dieng duluan, sedangkan sebagiannya lagi ada yang memperjuangkan diri agar mendapatkan ijin dari orangtua. Karena ijin dari orangtua bagaikan tiket naik odong-odong menuju dieng, kalau gak di ijinin berarti gak dapet tiket dan gak bisa naik odong-odong ke dieng. Tapi untunglah dengan menangis sambil merengek-rengek, sambil pula bakar-bakar rumah, akhirnya orangtua merasa kasian mungkin, jadi di ijinkan. Bahkan dikasih duit buat jajan sapa tau di atas gunung ada mini market. Sedangkan saya sendiri di malam terakhir menjelang keberangkatannya besok, disibukan mencari sepatu gunung dan sendal gunung ke beberapa teman, namun gak ada yang muat sama kaki saya, dan akhirnya saya bawa sepatu biasa aja buat hiking nanti, sama bawa sendal merk ternama (swalow) buat jalan-jalan barangkali boring didalem tenda.
Sesuai perjanjian, kita berdelapan kumpul dirumahnya dwi jam 5 pagi, maka dari itu saya dari rumah jam 5:30. Hehe... biasa lah orang Indonesia sering bahkan selalu mentradisikan jam ngaret. Akhirnya kita berangkat jam 06:15 dengan formasi dwi berboncengan sama turis, lalu wiwi bareng rudi, beti sama trio, dan mala jelas dong bareng sama saya.

Turis, Dwi, Beti, Trio, Rudi, Wiwi, Mala, Saya
Ada banyak jalan untuk menuju dieng, cuma agar bisa sampai ke dieng dengan waktu tercepat dan jarak tempuh terpendek adalah lewat kab. Batang. Kata turis. Kita yang dibelakang turis cuma ngikuti saja, turis belok ke kiri kita ikut, turis ke kanan kita ikut, turis mampir ke toliet kita juga ikut.
Perjalanan dimulai dari jalan pantura tegal kemudian lewati pemalang dan pekalongan, setelah itu kita sampailah di batang. Selanjutnya kita menuju bandar dengan kondisi jalan yang mulus semulus mukanya pevita pearce. Begitu sampai di pertigaan blado, disini jalanan mulai menyempit dan aspal tak semulus mukanya pevita lagi. Sedikit berlubang dan mulai ada tanjakan panjang. Sampai disini jalanan relatif masih aman untuk dilalui dengan pemandangan kanan-kirinya sawah dan perkebunan. Kemudian kita memasuki hutan pinus selatan kambangan, jalanan mulai ada tikungan tajam dan tanjakan yang lumayan tinggi. Suasananya cukup adem, hijau, dan masih asri, ditambah aspal yang masih bagus, cuman dimulai dari sini lah saya dan mala tertinggal dari rombongan, tapi untungnya sodara-sodara kita didepan mau menunggu saya dan mala tiap kali tertinggal cukup jauh. Tapi tetep saja beberapa meter kemudian kita ketinggalan lagi. Kenapa bisa begitu? Jawabannya ada dibawah.
Selepas lewati hutan pinus, kemudian kita memasuki hutan yang lain (orang setempat menamakan alas kluwung). Dimulai dari jalan aspal yang berubah jadi jalan cor beton yang sudah mulai mengelupas, tampak pula papan besar bertuliskan "Memasuki hutan lindung kab. Batang" pohon-pohon besar dan tua menjadi pemandangan selanjutnya. Kombinasi jalan cor beton dan cor batu menjadi komposisi utama jalanan ditengah hutan ini. Sedangkan tanjakan dan tikungan tajam menjadi menu wajib yang harus dilewati. Ketika sampai di penghujung hutan, kita harus lewatin tanjakan panjang, meskipun tidak terlalu terjal, namun kondisi jalannya hancur yang menjadikan para pengguna jalan tersebut harus berhati-hati.  

Keluar dari hutan, kita memasuki daerah konservasi dataran tinggi dieng dengan kondisi jalan masih menggunakan cor beton dengan pemandangan ladang pertanian warga seperti kentang, kubis, wortel, lombok dan buah khas dieng yang seperti pepaya namun bernama carica. Disini ketinggiannya sudah diatas 1500 mdpl yang membuat udara semakin sejuk dan curah hujan juga cukup tinggi disini. Namun sayangnya, motor yang saya dan mala naiki sepertinya menyerah buat diteruskan jalan. Kenapa bisa begitu, padahal habis diservis sebelum ke dieng, tapi ada hal lain yang membuat motor ini tidak sanggup lagi untuk melaju ditanjakan. Mari kita bayangkan, berat badan saya 90 kilo ditambah berat isi tas carrier saya yang mencapai 50 liter, ditambah lagi berat badannya mala sekitar 50 kilo, dan masih ditambah lagi dengan isi tasnya mala sekitar 30 liter. Bisa dibayangkan betapa sukarnya saya kalau lihat didepan ada tanjakan. Mala sendiri sedikit menahan marah dan kesal karena hampir tiap ada tanjakan terjal dia turun dan jalan kaki. Karena memang gak bisa dipaksakan lagi. Kemudian di tanjakan selanjutnya, biarkan mala yang jalanin motornya sedangkan saya gantian yang jalan kaki. Tapi pada akhirnya kita semua punya ide, kalau saya pindah berboncengan sama turis, dan dwi bareng mala. Alkhamdulillah trik ini berhasil. Tapi gak berhasil-berhasil amat sih, karena sekali-duakali saya jalan kaki juga karena motornya turis gak kuat naik. Oke, mungkin ini teguran dari semesta kalau saya harus diet.
Setelah melewati berbagai rintangan dan melihat banyak motor jatuh akibat jalan rusak dan licin, serta tebalnya rasa sabar yang mulai tergerus akibat emosi yang meluap karena jalan rusak, kehujanan, bisa juga karena stres gak sampai-sampai, termasuk banyaknya tanjakan dan tikungan tajam yang harus dilewati. Pada akhirnya di jam 11:00 kita berdelapan sampai didepan komplek candi arjuna dengan keadaan pantat sedikit kesemutan, juga basah akibat kehujanan.  




Inilah dataran tinggi dieng yang mungkin bakal biasa-biasa saja kalau dilalui cuma biasa-biasa saja, karena pada hakekatnya untuk menuju sesuatu yang indah dan menyenangkan, kita harus terlebih dulu merasa sakit. 
Menuju puncak Gunung Prau di part 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar