Jumat, 16 Juni 2017

Tengah Malam Mendaki Gunung SINDORO


Selesai makan, selesai Packing dan Selesai isi data-data di Basecamp, kemudian kita ngerumpi sebentar apakah akan naik ojeg sampai ke pos 1 atau jalan kaki sampai pos 1.
Just info di Gunung Sindoro : Untuk menuju ke pos 1 masih bisa dilalui dengan sepeda motor karena jalannya masih menggunakan batako dengan pemandangan kanan-kiri ladang kol milik warga sampai di pos 1 barulah masuk ke dalam hutan. Cuma jaraknya lumayan jauh, bahkan lebih jauh jaraknya dari pos 1 ke pos 2 atau dari pos 2 ke pos 3.

Setelah mempertimbangkan dengan jarak dan waktu yang sudah menjelang pagi, kita putuskan untuk menggunakan ojeg sampai ke pos 1 agar mempersingkat waktu supaya sampai di pos 3 sebelum matahari terbit. Karena kalau pengin melihat sunrise di Gunung Sindoro paling gak minimal sampai di pos 3.  

Ini bener-bener gila dan nekat sih sebenernya, karena di jam 1:30 itu kebanyakan para pendaki sedang istirahat atau kalau di gunung yang lebih tinggi mungkin sedang mempersiapkan untuk summit, nah kita jam segini malah baru naik dari basecamp. Memang serem sih, cuma kita sudah nambah 2 anggota yang sudah hafal jalurnya pula yang bikin kita makin berani. Semoga lancar sampai ke atas.

Satu-persatu dari kami mulai jalan dengan tukang ojegnya masing-masing meninggalkan basecamp, termasuk saya yang terakhir.  

Pas mau naik ojeg, saya pikir ini motor gak bakalan sanggup naik karena yang boncengin berbadan gendut, ditambah lagi rasanya roda bannya juga agak kempes. Eh yang terjadi malah motor yang saya tunggangi ini satu-persatu nyalip motor yang didepan dan akhirnya saya yang duluan sampai di pos 1. 

"Gimana rasanya mas naik ojeg di gunung?" Tanya tukang ojegnya.

Ini bener-bener pengalaman baru buat saya, seru, dan serem juga sih barangkali jatuh. Kalau di film-film itu kayak film Lion King.

"Jauh amat bedanya, itu kan film kartun binatang mas" protes si tukang ojeg.

"Si mas tukang ojeg ini tau film juga ternyata. Hihi" .... "Pokoknya seru mas"

Gak lama kemudian kita kumpul semua bertujuh di pos 1. Dengan sedikit bacaan doa, kita awali sebelum treking ke atas.

Basecamp - pos 1 (gak nyampe 10 menit)

Selesai doa, kita mulai melangkahkan kaki kita dipekatnya malam dalam hutan namun bertabur bintang yang menandakan cuaca sangat cerah.

Perlahan-lahan kita jalan sambil ngobrol ngalor-ngidul sama Mas Galih dan Mas Osa yang anaknya sangat mudah bergaul. Mereka bercerita kalau Gunung Sindoro itu gak seekstrim yang orang-orang pikir. Kebanyakan orang bilang Sumbing dan Sindoro memiliki jalur yang sulit karena banyak batu-batuan, tapi Sindoro itu lebih mudah. Katanya... ya wajar karena mereka sering wara-wiri naik gunung ini, nah saya pengalaman mendaki aja baru di Gunung Prau. Itu aja saya mendaki dengan penuh perjuangan.

1 jam sudah kita meninggalkan pos 1.

Entah karena malam hari atau karena efek sepedaan sebelum mendaki kemarin, bikin kaki saya sanggup nanjak. Bahkan sampai di pos 2 saya masih cukup sanggup. Kecuali anak-anak cewek yang sudah beberapa kali minta berhenti. Ya.. maklum lah, apalagi Dwi yang habis dari Bandung, kalau Beti sih namanya doang si petualang sejati tapi gampang capek, kalau Mala ini cewek strong, bahkan lebih kuat dari saya, sedangkan Turis tidak diragukan lagi karena dia cukup pengalaman mendaki gunung.

Pos 1 - Pos 2 (1,5 jam)

~~sk~~



10 menit istirahat dirasa cukup kata Mas Galih, karena tujuan kita liat sunrise di pos 3 yang berjarak lebih jauh ketimbang pos 1 ke pos 2.

Sekarang giliran Mas Osa yang memimpin di depan, kalau tadi dari pos 1 Mas Galih yang didepan.

Untuk suhu udara disini saat ini cukup hangat, saya juga sampe heran digunung kok malah hangat. Kata Mas Osa ini karena habis diguyur hujan cukup deras tadi pas saya dan lainnya masih didalam bus, makanya si tanah jadi hangat plus gak ada kabut alias cerah benderang.

5 menit kemudian selepas pos 2, kaki saya mulai terasa kram sedikit, tapi masih saya paksakan untuk tetap jalan. Karena sedikit gengsi sama anak-anak cewek, masa saya yang cowok minta istirahat. Tapi nyatanya kaki saya mulai lambat buat melangkah.

"Bet kalau capek lagi mending istirahat aja dulu" Lagi nyoba bujuk Beti buat berhenti biar semuanya berhenti, padahal sih saya yang ingin istirahat karena ini kaki mulai terasa berat melangkah, cuma kalau saya yang minta berhenti malu lah sama anak-anak cewek ini.

"Masih kuat" jawab Beti.

Pijakan kaki saya mulai semrawut gak jelas karena berat melangkah dan medannya juga bebatuan serta banyak pohon tumbang yang menghalang.

"Gak haus Wi? Nanti dehidrasi loh..." saya mulai merayu Dwi supaya ada alasan buat berhenti.

"Nanti aja minumnya, keburu telat"

Dalam hati "Ini cewek-cewek kenapa mendadak jadi kuat sih, apalagi Mala sudah jauh didepan"

Karena gak ada yang mau berhenti, akhirnya saya coba berhenti sambil mangkring di batu besar karena cukup melelahkan.

"Capek mas?" Sapa Mas Galih dari belakang.

"Oh enggak mas ini lagi memandang Gunung Sumbing keliatan banget" padahal capeknya gak ketulungan.

Denger saya bilang kalau Sumbing keliatan banget dibelakang kita, anak-anak mendadak berhenti dan sama-sama memandang megahnya gunung sumbing di malam hari yang cerah ini.


"Alkhamdulillah akhirnya pada berhenti juga" kata saya dalam hati.

"Ayo jalan lagi. Mau liat sunrise gak nih... setengah jam lagi kita sampai kok di pos 3" teriak Mas Osa dari atas.

Baru aja meneguk air dikit udah jalan lagi. Huh... saya mikir coba aja ada tukang ojeg sampai ke puncak, bayar mahal juga gak papa.

Saya liat Turis sama Mala di depan/di atas, keliatannya enak banget jalan kakinya, kayak gak ada beban. Kalau saya malah kaki terasa makin berat dan carrier juga terasa makin berat. Kalau dihitung-hitung berat beban yang dibawa kita-kita ini mungkin paling berat punya saya, karena saya juga harus bawa puluhan kilo lemak saya keatas Gunung.

"Masih lama mas pos 3?" Teriak Beti yang mulai meninggalkan saya dibelakang.

"Setengah jam lagi" Balas Mas Osa yang jauh di atas sana.

Entah setengah jamnya Mas Osa itu berapa menit karena dari tadi bilangnya setengah jam mulu.

Saat ini posisinya sudah tidak berdekatan lagi. Mas Osa, Turis, dan Mala sudah jauh diatas sana, dibawahnya ada Dwi dan Beti yang sudah tidak terlihat lagi oleh saya, kemudian dibawahnya lagi ada Mas Galih yang mulai meninggalkan saya. Sumpah ini kaki sudah tidak bisa diajak kompromi, kaki saya dua-duanya kram. Gilakk sakit banget. Terpaksa saya berhenti. Untung Mas Galih melihat saya berhenti dan dia ikutan berhenti.

"Kenapa mas?" Tanya Mas Galih.

"Kram"

"Lurusin mas kakinya" lanjut Mas Galih sambil turun lagi buat nemenin saya.




Disaat sedang istirahat meluruskan kaki, saya baru sadar kalau saya sudah keluar dari hutan. Dan itu artinya pos 3 sudah hampir sampai. Terlihat juga banyak tenda berdiri diatas saya.

adventure everyday
"Ayo jalan lagi mas" ajak saya ke Mas Galih. Sementara Turis dan yang lainnya entah dimana keberadaannya, suaranya juga mulai tersaingi dengan suara-suara para pendaki lainnya yang ada diatas.

5 menit kemudian kaki saya kembali kram. Sialan. Tapi kali ini saya banyak temen pendaki lain dari berbagai kota.

"Kalau kram jangan dipaksakan mas" kata salah seorang pendaki asal Jakarta.

"Ini sudah sampai pos 3 belum?" Tanya Mas galih ke pendaki dari Jakarta itu.

"Kayanya udah mas, karena papan petunjuknya gak keliatan"

Lagi duduk selonjoran, tiba-tiba ada yang ngasih kopi. Anjrit baik banget. Emang bener, di gunung siapa saja bisa jadi sodara.

"Terimakasih mas"

Selesai minum kopi dan kaki juga sudah mulai kuat berjalan, kita berdua kembali jalan, tapi Mas Galih melarang saya buat membawa Carrier. Katanya biar dia aja yang bawa.

"Jangan mas! Saya gak enak" tolak saya.

"Gak papa mas biar gak kram lagi"

Ya sudah, karena dia memaksa jadi saya kasih. Padahal badannya kecil, tapi kuat juga Mas Galih bawa carrier dua ke atas. Gilakk. Tapi begitu 3 menit kemudian saya liat ke belakang Mas Galihnya gak ada.

"Mas Galih... Dimanakah engkau?" teriak saya.

"Woi" teriak Mas Galih. "Jalan aja terus, kaki saya kram"

Waduh, kok jadi dia yang kakinya kram. Apa gara-gara carrier saya yang bikin kram. Kemudian saya juga ikutan berhenti nungguin Mas Galih. Ada perasaan gak enak dalam diri saya, makanya nanti saya putuskan untuk kembali bawa cerrier. Lalu saya liat disekitar, langit mulai mengeluarkan secercah cahaya, menandakan matahari sebentar lagi akan keluar.

Saya sudah tidak bernafsu lagi buat mengejar sunrise, dengan keadaan kaki yang kayak gini saya cukup puas melihat pemandangan yang ada. Lagi pula dimana pun tempatnya, asal sudah lewatin pos 3, pemandangannya sudah keren banget, karena ada di padang savana.






"Riskiiiiii" tiba-tiba ada yang teriak memanggil, dan suaranya mirip Turis.

"Woi!" Balas saya.  

Mas Galih juga sudah menghampiri saya, dan seperti yang tadi janjikan, maka cerrier saya bawa kembali lagi.

"OSA!!! Udah nemu tanah datar belum?" Gantian Mas Galih yang teriak.

"Udahhhh" yang jawab malah anak-anak cewek bebarengan.

"Kamu lagi dimana?" Teriak Mala.

"Lagi di Mall" pake tanya segala, lagi digunung lah.

Saya dan Mas Galih langsung jalan lagi dan gak sampai 5 menit kita semua sudah berkumpul.

Lalu kita para cowok-cowok sibuk bangun tenda. Dan para cewek sibuk foto-foto dengan background sunrise yang tertutup awan. Kasian.



Kita memang kurang beruntung untuk dapat pemandangan sunrise yang keren. Tapi gagahnya Gunung Sumbing cukup membayar perjuangan kita mendaki di malam hari.  

Bersambung dulu ya.......
Pasutri (Dwi-Turis) baru nikah Desember kemarin.
Beti si Petualang Sejati
Mala
Abaikan lemaknya...

2 komentar:

  1. Wah jadi inget pas aku mendaki gunung di tengah malam. Mulai nya pun dari jam 3/4 subuh udah dingin banget dan kakinya pegel. Pas tiba di gunung aku menikmati pemandangan yg ada digunung dan sambil berfoto dengan teman - temanku.

    nurazizahkim.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kenapa gak nunggu sampai jam 6/7 pagi aja baru mulai mendaki. Kalau saya mendaki tengah malem karena besoknya kerja.

      Hapus