Sebelum perjalanan ke Dieng |
Rencana awal, kita akan mendaki gunung kembali beranggotakan 8 orang dengan
orang yang sama persis saat mendaki Gunung Prau. Full satu keluarga sering keluyuran ditambah Beti si petualang pencari air terjun dan Trio.
Tapi dua minggu sebelum mendaki, Trio dan Rudi memastikan tidak bisa
ikut mendaki lantaran di kampusnya akan ada KKL di hari yang sama dengan
waktu pendakian, sedangkan Rudi tidak bisa ambil cuti karena masih baru
bekerja di Cikarang. Namun kita putuskan untuk tetap mendaki meski
kehilangan 2 orang.
Drama ini masih berlanjut, puncaknya seminggu sebelum berangkat ke
basecamp kledung, Bapak saya dirawat di rumah sakit. Ini membuat pikiran
saya acak-kadut yang semula sangat exited karena akan kembali lagi
menyambangi ketinggian diatas ribuan mdpl. Tapi saya tidak
memberitahukan dulu ke yang lainnya karena saya masih optimis kalau
bapak saya bakal cepat sembuh dan cepat pulang, kecuali Mala karena dia
pacar saya maka saya ceritakan ke dia. Mala pun menyuruh saya untuk
membatalkan rencana pendakian kali ini yang sudah sekian lama
tertunda-tunda dan apakah akan tertunda lagi. Demi merawat bapak.
Katanya...
"Lihat saja nanti" jawab saya tentang usulannya Mala.
Tanpa alasan, tiba-tiba Turis bilang lewat Wa kalau dia dan istrinya (Dwi) batal untuk ikut mendaki.
Saya agak kecewa, karena baru kemarin banget Dwi bilang kalau Turis
sudah ambil cuti untuk ikut pendakian kali ini, dan hari itu juga saya
langsung booking tenda dan alat-alat yang lain sama Mas Indra (anak
wonosobo). Ehh kok malah gak jadi ikut.
2 jam kemudian setelah Turis ngasih kabar bahwa dia tidak jadi ikut, barulah dia memberitahu alasannya kenapa gak bisa ikut itu karena Dwi hamil.
Dalam hati saya bilang mungkin bener kata Mala kalau pendakian ini harus
dibatalkan, meski padahal saya masih berharap bapak sembuh sebelum hari
H pemberangkatan, tapi sekarang rasanya jadi agak males, karena saya
cowok sendirian yang harus nemenin Mala, Beti, dan Wiwi naik Sindoro.
Kalau pun mengajak anak cowok lain belum tentu ada yang mau karena cukup
mendadak, ditambah lagi belum tentu juga klop dengan gaya kita jalan,
dengan gaya kita bercanda, dan dengan gaya noraknya kita saat foto-foto.
Karena kita satu keluarga sering keluyuran adalah satu kesatuan. Cie
gitu...
Kemudian saat berunding dengan Mala dan Wiwi yang akhirnya sependapat
kalau pendakiannya kita batalkan, tapi si petualang sejati alias Beti
masih terus memaksa agar pendakian ini harus tetap jadi meskipun tanpa
Turis dan Dwi. Saya sih cuma diem saja nanggepin kemauannya Beti, karena
gak mungkin juga orang gendut kayak saya suruh ngawal tiga cewek ke
Gunung Sindoro.
~~sk~~
Baca juga : Sepedaan ke Pantai Larangan menjelang mendaki.
Setelah 2 hari berlalu dengan tenang tanpa ada pembahasan masalah mendaki, hanya Beti saja yang terus tanya soal mendaki tapi tidak saya balas. Kasian juga sih... Lalu secara tiba-tiba lagi Turis tanya lewat Wa "Apakah mendakinya jadi?" Saya bingung mau jawab.
Kemudian Turis bilang lagi kalau dia dan Dwi jadi ikut mendaki.
Hah! Saya bengong.
Dalam hati saya "Ini anak gak ada pendiriannya banget"
"Terus entar kandungannya Dwi gimana?" lanjut saya.
Lalu Dwi yang menjelaskannya sendiri kalau dia gak hamil. Dia hanya
telat datang bulan. Mungkin karena mereka berdua sama-sama pengin cepet
punya anak, jadi mereka langsung menjudge kalau Dwi sedang hamil muda
yang padahal cuma telat datang bulan.
Angin segar kembali berhembus di kening saya, karena Bapak saya besok
diperbolehkan sama dokter untuk pulang. Itu artinya saya dan keenam anak
lainnya jadi mendaki.
Pemandangan G. Sumbing, G. SIndoro, G. Merbabu, G. Merapi dan gunung-gunung lainnya dari puncak G. Prau |
Setelah berganti hari lagi, saya pikir sampai hari H semuanya lancar
tanpa ada hambatan, tapi ternyata di malam terakhir menjelang berangkat
besok Wiwi mengasih kabar bahwa dia tidak dapat ijin dari orangtuanya
seperti yang sudah-sudah. Mungkin dulu saat ke Dieng masih dapat ijin
tapi sekarang katanya Wiwi gak lagi.
"Maaf yah..." kata Wiwi lewat Bbm.
"Gak usah minta maaf lah. Justru kita yang minta maaf karena gak bisa bantu meyakinkan orangtuamu wi"
Fix... anggota kurang lagi. Namun rencana mendaki tetap jalan karena yang
mengundurkan diri anak cewek. Kecuali saya atau Turis yang gak jadi ikut
mungkin rencana mendakinya ditunda atau dibatalkan.
~~sk~~
Keesokan harinya, pukul 3 pagi. Dwi telfon kalau dia sama Turis masih di
Cirebon karena gear sepeda motornya Turis patah, dan bengkel buka
paling cepet pukul 7. Alamakkk! padahal rencana jalan ke Wonosobo itu
jam 6 pagi dari Tegal.
Jadi gini. Turis dan Dwi sekarang ini menetap di Bandung.
Target sampai di Tegal katanya jam satu / dua malam, tapi ternyata datang
musibah yang bikin mereka gak bisa jalan.
"Terus gimana mas mendakinya?" Tanya Dwi lewat telfon.
"Gak usah mikir mendaki dulu, yang penting jaga diri kalian baik-baik di
Cirebon dan pulang ke Tegal dengan selamat." Saya jawab seadanya,
karena saya juga gak bisa memaksakan mereka naik bis atau kereta atau
odong-odong sekalian biar cepat ke Tegal.
"Terus yang lain gimana?" Tanya Dwi lagi.
"Biar saya yang ngabarin."
Mungkin cuma Mala yang bisa ngertiin, karena Mala, Dwi dan Wiwi deket
banget. Tapi Beti, mungkin karena dia saking penginnya ke Sindoro,
bahkan dia rela dua malam begadang mengerjakan proposal biar cepat
selesai demi ke Sindoro, jadinya terlihat seperti egois. Karena yang dia
inginkan itu harus "jadi" meskipun ada masalah apapun termasuk masalah yang kita hadapi menjelang mendaki
ke Sindoro ini.
Jam 8 gantian Turis yang ngasih kabar kalau dia baru mau jalan lagi. Dan
tiga jam kemudian Turis bersama dengan istri akhirnya sampai di Tegal.
Alkhamdulillah.
Iseng saya tanya. "Jadi mendaki ris?"
Dengan tegas Turis menjawab : "Jadi lah! Sudah semangat banget dari semalam masa gak jadi."
"Tapi Dwi?" tanya saya lagi.
"Tenang. Nanti dia saya suruh tidur di bus selama perjalanan ke Wonosobo."
Oke!
Kemudian saya kasih kabar ke Mala dan Beti kalau mendaki ke Sindoro kita
tunda sampai jam 1 siang dan kumpul di RS. Kardinah, Tegal untuk
menunggu bus arah Purwokerto kemudian dilanjut naik bus arah Wonosobo
dari Terminal Purwokerto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar