Ini adalah kali pertama kita jalan bareng sebagai keluarga baru. Keluarga sering keluyuran. Dan kita memilih gunung prau yang ada di
dieng Wonosobo sebagai destinasinya. Namun kita tidak hanya berenam saja, ada
2 teman lagi yang ikut ke Wonosobo yaitu beti dan trio. Beti adalah
sesosok perempuan yang sangat berpengalaman didunia petualang, air
terjun/curug menjadi pemandangan favoritnya, bahkan dari semua air
terjun yang ada di Jawa tengah pernah beti kunjungi, kecuali yang belum.
Sedangkan trio saya kurang tau pasti jam terbangnya dia di dunia
petualang, tapi anaknya asik, bahkan saking asyiknya dia sampai sok keasyikan gitu. Mungkin kalau mereka jadian saya rasa cocok, kalau gak, ya tinggal di cocokin.
Oke perkenalan 2 orang ini saya rasa cukup, sekarang lanjut ke cerita.
Sebelum ke dieng wonosobo untuk mendaki gunung prau, tentunya kita
mempersiapkan alat-alat untuk mendaki/camping terlebih dulu, dan
ternyata mempersiapkan alat untuk mendaki lebih rumit bin ribet dari
pada mempersiapkan alat untuk bikin mie instan, apalagi ini pertama
kalinya buat kita untuk menginap di atas gunung. Sebenernya sih saya dan
turis sudah pernah mendaki gunung, cuman kita gak sampai menginap. Gak
kayak sekarang harus bawa tenda, sleeping bag, matras, nesting, kompor,
gas elpiji 60 kilo, sampai tisue aja harus bawa berbagai macam seperti tisue
basah, tisue kering, tisue wc dll. Sedangkan yang cewek bawanya lebih
ribet kayak hair dryer, catokan, pensil alis, meja rias sampai tukang
riasnya juga dibawa. tapi kita mempersiapkan ini semua dengan senang hati.
Lalu, di malam terakhir menjelang keberangkatannya ke dieng, sebagian dari kita
pasti ada yang gak bisa tidur karena pikirannya mungkin sudah sampai di dieng
duluan, sedangkan sebagiannya lagi ada yang memperjuangkan diri agar
mendapatkan ijin dari orangtua. Karena ijin dari orangtua bagaikan tiket
naik odong-odong menuju dieng, kalau gak di ijinin berarti gak dapet
tiket dan gak bisa naik odong-odong ke dieng. Tapi untunglah dengan
menangis sambil merengek-rengek, sambil pula bakar-bakar rumah, akhirnya
orangtua merasa kasian mungkin, jadi di ijinkan. Bahkan dikasih duit
buat jajan sapa tau di atas gunung ada mini market. Sedangkan saya
sendiri di malam terakhir menjelang keberangkatannya besok, disibukan
mencari sepatu gunung dan sendal gunung ke beberapa teman, namun gak ada
yang muat sama kaki saya, dan akhirnya saya bawa sepatu biasa aja buat
hiking nanti, sama bawa sendal merk ternama (swalow) buat jalan-jalan
barangkali boring didalem tenda.
Sesuai perjanjian, kita berdelapan kumpul dirumahnya dwi jam 5 pagi,
maka dari itu saya dari rumah jam 5:30. Hehe... biasa lah orang
Indonesia sering bahkan selalu mentradisikan jam ngaret. Akhirnya kita
berangkat jam 06:15 dengan formasi dwi berboncengan sama turis, lalu
wiwi bareng rudi, beti sama trio, dan mala jelas dong bareng sama saya.
Ada banyak jalan untuk menuju dieng, cuma agar bisa sampai ke dieng
dengan waktu tercepat dan jarak tempuh terpendek adalah lewat kab.
Batang. Kata turis. Kita yang dibelakang turis cuma ngikuti saja, turis
belok ke kiri kita ikut, turis ke kanan kita ikut, turis mampir ke
toliet kita juga ikut.
Perjalanan dimulai dari jalan pantura tegal kemudian lewati pemalang dan
pekalongan, setelah itu kita sampailah di batang. Selanjutnya kita
menuju bandar dengan kondisi jalan yang mulus semulus mukanya pevita
pearce. Begitu sampai di pertigaan blado, disini jalanan mulai menyempit
dan aspal tak semulus mukanya pevita lagi. Sedikit berlubang dan mulai
ada tanjakan panjang. Sampai disini jalanan relatif masih aman untuk dilalui dengan
pemandangan kanan-kirinya sawah dan perkebunan. Kemudian kita memasuki
hutan pinus selatan kambangan, jalanan mulai ada tikungan tajam dan
tanjakan yang lumayan tinggi. Suasananya cukup adem, hijau, dan masih
asri, ditambah aspal yang masih bagus, cuman dimulai dari sini lah saya
dan mala tertinggal dari rombongan, tapi untungnya sodara-sodara kita
didepan mau menunggu saya dan mala tiap kali tertinggal cukup jauh. Tapi
tetep saja beberapa meter kemudian kita ketinggalan lagi. Kenapa bisa
begitu? Jawabannya ada dibawah.
Selepas lewati hutan pinus, kemudian kita memasuki hutan yang lain
(orang setempat menamakan alas kluwung). Dimulai dari jalan aspal yang
berubah jadi jalan cor beton yang sudah mulai mengelupas, tampak pula
papan besar bertuliskan "Memasuki hutan lindung kab. Batang" pohon-pohon
besar dan tua menjadi pemandangan selanjutnya. Kombinasi jalan cor
beton dan cor batu menjadi komposisi utama jalanan ditengah hutan ini.
Sedangkan tanjakan dan tikungan tajam menjadi menu wajib yang harus
dilewati. Ketika sampai di penghujung hutan, kita harus lewatin tanjakan
panjang, meskipun tidak terlalu terjal, namun kondisi jalannya hancur
yang menjadikan para pengguna jalan tersebut harus berhati-hati.
Keluar dari hutan, kita memasuki daerah konservasi dataran tinggi dieng
dengan kondisi jalan masih menggunakan cor beton dengan pemandangan
ladang pertanian warga seperti kentang, kubis, wortel, lombok dan buah
khas dieng yang seperti pepaya namun bernama carica. Disini
ketinggiannya sudah diatas 1500 mdpl yang membuat udara semakin sejuk
dan curah hujan juga cukup tinggi disini. Namun sayangnya, motor yang
saya dan mala naiki sepertinya menyerah buat diteruskan jalan. Kenapa
bisa begitu, padahal habis diservis sebelum ke dieng, tapi ada hal lain
yang membuat motor ini tidak sanggup lagi untuk melaju ditanjakan. Mari
kita bayangkan, berat badan saya 90 kilo ditambah berat isi tas carrier
saya yang mencapai 50 liter, ditambah lagi berat badannya mala sekitar
50 kilo, dan masih ditambah lagi dengan isi tasnya mala sekitar 30
liter. Bisa dibayangkan betapa sukarnya saya kalau lihat didepan ada
tanjakan. Mala sendiri sedikit menahan marah dan kesal karena hampir
tiap ada tanjakan terjal dia turun dan jalan kaki. Karena memang gak bisa dipaksakan lagi. Kemudian di tanjakan selanjutnya, biarkan mala yang jalanin motornya sedangkan saya gantian yang jalan kaki. Tapi pada akhirnya kita
semua punya ide, kalau saya pindah berboncengan sama turis, dan dwi
bareng mala. Alkhamdulillah trik ini berhasil. Tapi gak
berhasil-berhasil amat sih, karena sekali-duakali saya jalan kaki juga
karena motornya turis gak kuat naik. Oke, mungkin ini teguran dari
semesta kalau saya harus diet.
Setelah melewati berbagai rintangan dan melihat banyak motor jatuh
akibat jalan rusak dan licin, serta tebalnya rasa sabar yang mulai
tergerus akibat emosi yang meluap karena jalan rusak, kehujanan, bisa juga
karena stres gak sampai-sampai, termasuk banyaknya tanjakan dan tikungan
tajam yang harus dilewati. Pada akhirnya di jam 11:00 kita berdelapan
sampai didepan komplek candi arjuna dengan keadaan pantat sedikit
kesemutan, juga basah akibat kehujanan.
Inilah dataran tinggi dieng yang mungkin bakal biasa-biasa saja kalau
dilalui cuma biasa-biasa saja, karena pada hakekatnya untuk menuju
sesuatu yang indah dan menyenangkan, kita harus terlebih dulu merasa
sakit.
Menuju puncak Gunung Prau di part 2.